PCR, Antara Kepentingan Sosial, Korporasi, dan Politik
Jagat Nusantara gonjang-ganjing soal tuduhan terlibatnya dua Menteri dalam bisnis tes polymearse chain reaction (PCR) di negeri ini. Kewajiban PCR untuk penumpang semua moda transportasi, diawali dengan moda transportasi udara, mungkin menjadi pemicu. Memang itu adalah kewajiban aneh pada kondisi saat ini, ketika diberbagai negara kewajiban tersebut sudah dicabut. Banyak yang menentang dan menyerukan dicabutnya kewajiban tes PCR itu, termasuk penulis sendiri dalam status di media sosial (medsos) penulis. Akhirnya, ketentuan ini dicabut dan diganti dengan kewajiban Rapid Antigen.
Kiranya publik sudah tenang, namun ada pihak-pihak yang coba menggunakan beberapa data terkait importir PCR, untuk menyerang dua Menteri, yaitu Luhut Panjaitan dan Eric Thohir. Dalam masalah sosial di negeri ini, sudah berkali-kali ditegaskan oleh pemimpin negara agar swasta ikut membantu negara. Yang jadi soal dan merupakan kejahatan adalah jika swasta malah menggunakan pandemi ini sebagai pintu masuk untuk meraup keuntungan korporasi/pribadi. Mari kita cermati bersama secara jernih. Pertama, tentang importir PCR yang dikatakan meraup keuntungan triliunan rupaih.
Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan juga melakukan impor dengan nilai mencapai 18,7 juta atau 1,72%. Jika dihitung, total dari sembilan importir PCR, baru kira-kira sekitar 26% dari total impor. Masih ada sekitar 74% PCR yang diimpor pihak lain, ini tidak ditulis. Kemungkinan porsi terbesar itu diimpor oleh perusahaan farmasi nasional. Jadi kalau tuduhannya meraup keuntungan dari " bisnis impor PCR", siapa yang paling besar meraih keuntungan? Pasti bisa dijawab. (Yetede)
Tags :
#KesehatanPostingan Terkait
Artikel Populer
-
Tekan Inflasi, Pasar Murah
04 Jan 2025 -
Tapera Beri Angin Segar Emiten Perbankan
05 Jun 2024 -
Ledakan Smelter Berulang, Optimalkan Pengawasan
28 Dec 2023 -
KISAH SEGITIGA ANTARA VIETNAM, CHINA, DAN AS
28 Dec 2023